DOA KU HADDAD ALWI

Mengenai Saya

Foto saya
Olahraga,Fitnest,Membaca,Treveling, dll

Translate

Rumah Web

Watch

Followers

Market Health

Amazon Kindle

Senin, 23 April 2012

Kartini Dan Islam

Kartini Dan Islam

Tentang Islam

· Ditengah kesepian dalam pingitan,pandang-pandangan Kartini tentang tema keagamaan begitu mendalam. Kartini melakoni dan memahami Islam tidak taken for granted .Baginya, berislam haruslah masuk akal dan sesuai dengan pemikiran.Ia mengakui kalau keislaman yang ia anut adalah semacam turunan dari nenek moyangnya. Seperti pada umumnya orang beragama,ia juga tak pernah diberi kesempatan untuk memilih agama apa yang ia kehendaki.Dokrin dan ritual di wariskan begitu saja.

· Walau begitu ,Jiwa pencarian Kartini tak pernah mati,”Tibalah waktunya jiwaku mulai bertanya: mengapa aku lakukan ini, mengapa ini begini dan begitu? “ pergolakan Kartini tentang keislam begitu dahsyat sehingga “ sesuatu “ yang menurut dia tak dipahami,dia tinggalkan.Dia lebih mengedepankan hal-hal yang masuk akal, hal yang bersifat substantive dibanding formalitas tapi dia tak mengerti .Kata Kartini “Jadi kami putuskan untuk tidak berpuasa dan melakukan hal-hal lain yang dahulu kami kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikirkan sekarang ini tak dapat kami kerjakan tanpa berpikir, dan yang kami pikirkan sekarang ini tak dapat kami kerjakan.Gelap-kami merasa kegelapan –tak seorang pun mau menerangkan kepada kami apa yang kami tidak mengerti”.( Surat 15 Agustus 1902,kepada E.C.Abendonan )

· Sikap seperti itu tak membuat Kartini meninggalkan Agamanya. Bahkan proses pencarian ini semangkin meneguhkan keyakinannannya. Ia tetap menjadi Islam meski yang paling utama buat dia adalah kepercaan pada Tuhan meski ia diperlakukan tidak adil karena posisi sebagai perempuan, pandangan dia tentang Tuhan sangatlah positif, Kartini tidak pernah menyalahkan Tuhan, yang paling utama buat dia adalah kepercayaan pada Tuhan. Ia melakoninya sebagai sebuah takdir yang harus ia jalani dengan positif. Bagi Kartini, takdir itu bukan fatalisme atau penyerahan diri sehingga kehilangan kepercayaan diri: hanya pasrah dan menerima kondisi kita. Takdir menurut dia bisa mewujud menjadi suatu upaya dan usaha terus menurus tentang tugas yang diberikan Tuhan untuk meningkatkan diri dan melakukan hal yang terbaik. Ia terus menerus berproses dan mencari . maka tak mengherankan , meski dia dikungkung, pemikiran-pemikiran cerdas tetap keluar deras melalui tulisan tulisan. Lewat pemahaman seperti ini, saya melihat, Tuhan dimata kartini adalah kebajikan. Tuhan hidup dan hadir didalam hati dan jiwa manusia.

· Seperti yang diulas dengan bagus oleh Pramudya Anana Toer dalam bukunya Pangil Aku Kartini Saja , pandangan Kartini “Tuhan kami adalah Nurani, Neraka dan Surga kami adalah Nurani kami. Dengan melakukan kejahatan, Nurani kamilah yang mehukum kami, dengan melakukan kebajikan, Nurani kami pulalah yang memberi Kurnia.”

Tentang Poligami.

  • Dalam lingkungan kehidupan bangsawan Jawa tempat Kartini hidup, praktek poligami merupakan hal lumrah. Kebiasaan dan adat istiadat yang hidup dikalangan masyarakat , khususnya di kalangan priayi Jawa yang berkedudukan tinggi, memang menempatkan kedudukan perempuan tidak sama dengan kaum lelaki. Perempuan hanya berharga apabila ia dihubungkan dengan soal perkawinan. Dan perkawinan itu pun malah menjadi puncak penderitaan perempuan. Sebab, meskipun menjadi istri sah dari suaminya, para perempuan dituntut dan haruskan berbagi suaminya.

  • Kartini melihat kenyataan tak adil ini dengan kegeraman,” Saya akan menyinggung kaum lelaki dalam sifat mereka yang selalu mementingkan diri sendiri, egoistis. Celakalah mereka itu, yang menganggap egoisme lelaki semacam sesuatu yang sah dan adil “ Kartini tidak membesar- besarkan soal polgami ini, ia tidak berhayal, karena ia mengalami kepedihan akibat pratek yang menciptakan ketidak adilan ini dalam keluarganya yang terjadi pada ibunya sendiri.

  • Ibu kandungan Kartini yang bernama Ngasirah bukanlah raden ayu meskipun ia menjadi istri sah Bupati Sosroningrat, ayah Kartini .meski menjadi istri sah dan telah melahirkan delapan anak, Ngasirah tak berhak tinggal di rumah utama dan tidak dianggap sebagai ibu. Ia diperlakukan sebagai pembantu dan sekadar melahir kan anak. Ngasirah harus merangkak-rangkak dan menundu-nunduk karena ia berasal darimkalangan jelata,sementara ia dan saudara saudaranya karena berasal dari benih bangsawan bapaknya harus dihormati dan disembah oleh ibu kandungan sendiri.Sekalipun Kartini tidak pernah mengunkapkan secara terbuka penderitaan yang dialami ibu kandungnya, bisa dibayangkan bagaimana perasaannya melihat keanehan kehidupan keluarganya.” Saya melihat neraka dari jarak dekat – malahan saya berada dalamnya. Saya telah menyaksikan penderitaan ,dan merasakan sendiri kesengsaraan ibu saya, karena saya adalah anaknya.”

  • Perlawanan Kartini terhadap poligami dikalangan bangsawan Jawa pada akhirnya membawa dia kesadaran bahwa ia sendiri sudah hidup dalam bayang bayang musuh besar yang dilawannya. Ia sadar bahwa ia sedang berhadapan dengan lawan yang amat bengis dan kuat yang didukung adat istiadat,bahkan juga dibenarkan oleh agamanya, Islam. Tulis Kartini,”Saya putus asa.Sebagai manusia saya merasa seorang diri tidak mampu melawan kejahatan berukuran raksasa itu,dan yang aduh, alangkah kejamnya ! Dilidungi oleh ajaran Islam dan dihidupi oleh kebodohan perempuan sebagai korbannya,! Aduh ! saya pikir mungkin pada suatu ketika nasib menimpa kepada saya suatu siksaan yang kejam yang bernama Poligami itu! Saya tak mau ! mulutku menjerit ,hatiku mengemakan jeritan itu ribuan kali ?” ( Surat kepada Nyonya Abendanon Mandri Tertangal Austus 1902 )”

  • Tiga tahun kemudian setelah menulis itu kejahatan besar selama ini ia lawan menimpa dirinya.Ia meninkah dengan lelaki yang sudah memiliki tiga istri dan tujuh oran anak. Sebulan sebelum ia menikah, Ia menulis surat kepada Nyonya Abendano bahwa ia meras telah mati sia-sia. Secara fisik dan moral telah patah, tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi. Ia merasa gagal dalam perjuangannya, tak suatupun hasil yang dicapainya. Semuanya, segala cita-cita telah runtuh oleh egoisme orang-orang karena dilandasi tradisi dan Agamanya.

  • Setelah menikah, Kartini tidak memberontak lagi, tidak menjeritkan kegelisahan dan protesnya terhadap kedudukan dan nasib perempuan Jawa, termasuk soal Poligami .Tampaknya Kartini berusaha berdamai dengan keadaan yang dialaminya meski, menurut saya, (penulis) usaha itu tak berhasil.Kartini tetaplah tak bisa berlangsung lama dalam kehidupan pernikahannya. Empat hari setelahkan melahirkan anaknya, ia meninggal, membawa cita-cita dan perjuangannya meski cita-cita dan perjuangan itu tak akan pernah mati sampai detik ini.


Koran Tempo : 22 April 2008
Nara Sumber :
Nong Darol Mahmada
Peneliti Freedom Institute dan Jaringan Islam Liberal


Senin 20 April 2009
Utk direnungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar